Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan,
سَأَلَ رَجُلٌ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا نَرْكَبُ الْبَحْرَ وَنَحْمِلُ مَعَنَا الْقَلِيلَ مِنَ الْمَاءِ فَإِنْ تَوَضَّأْنَا بِهِ عَطِشْنَا أَفَنَتَوَضَّأُ بِمَاءِ الْبَحْرِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ
Seseorang pernah menanyakan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, kami pernah naik kapal dan hanya membawa sedikit air. Jika kami berwudhu dengannya, maka kami akan kehausan. Apakah boleh kami berwudhu dengan air laut?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas menjawab, “Air laut itu suci dan bangkainya pun halal.”
(HR. Abu Daud, no. 83, An- Nasa’i, no. 59, Tirmidzi, no. 69. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih)
Ada salah satu pelajaran penting di sini, Rasul ketika ditanya oleh para sahabat mengenai hukum air laut apakah suci ataukah tidak, beliau menjawab sampai pada status bangkai hewan laut. Ini tanda beliau sangat cerdas. Karena ditanya satu pertanyaan namun dijabarkan hingga masalah lain yang masih terkait. Tujuannya agar tidak perlu lagi muncul pertanyaan selanjutnya yang butuh untuk ditanyakan.
Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan berkata, “Dalil di atas menunjukkan bahwa seorang mufti (pemberi fatwa) jika ia melihat dari keadaan orang yang bertanya bahwa ia sangat butuh penjelasan untuk perkara lain yang tidak ditanya, hendaklah dijelaskan pula. Itulah cara memberi fatwa yang baik. Itu juga menunjukkan kecerdasan dari seorang yang memberi fatwa dan perhatiannya terhadap yang dibutuhkan dan dirasa manfaat bagi yang bertanya.”
(Minhaj Al-‘Allam fi Syarh Bulugh Al-Maram, 1: 28)
Posting Komentar